Di pantai selatan kita coba mengukir batu yang telah keras dihujam waktu. Namun, yang ada hanya ambisi tentang bagaimana batu itu bisa kita ukir dengan air. Lalu kugenggam pasir, dan menguburnya dalam nadir.
Malam telah larut, kita nyalakan lilin dan meninggalkan hingar bingar sebentar. Ada cahaya hangat di wajah pewarta yang sedang bercerita dengan jenaka. Kata demi kata membuat dilema hilang untuk sementara.
Air laut telah sampai di pesisir, api lilin telah mati, permainan telah berakhir. Kita gelar alas sebagai pembaringan dan menyemayamkan diri di bawah langit luas. Kemudian sadar bahwa kita adalah yang kecil, lebih kecil dari pasir yang terselip dalam surai. Kita adalah yang tidak berdaya, terjebak dalam masa lalu di hadapan kerlip bintang di langit membentang. Kita takjub tatkala bintang jatuh meninggalkan segaris cahaya. Dan mengucap doa berharap waktu dapat dijeda.
Aku menutup mata dan kutarik ujung jaketku berlindung dari angin dingin. Malam masih panjang, namun alam telah manjelma sebagai kekasih. Ia mengusap rambutku dan memeluk tubuhku. Biarlah bau amis dari laut dan nyanyian-nyanyian lantang dari pewarta akan menjadi anggur sebelum tidur. Apabila perjamuan ini adalah yang terakhir, aku harap malam ini tak akan pernah berakhir.
Malam itu tanggal dua lima Agustus