Sebuah
catatan dari novel “Cinta Tak Pernah Tepat waktu” karya Puthut EA
Saya jarang
sekali membaca novel romansa, namun entah kenapa hari itu saya ingin sekali membeli
buku ini. Saat itu di Jakarta, saya sedang menghabiskan waktu sambil menunggu
seseorang yang sedang mengikuti sebuah tes sebagai persyaratan untuk ia bisa
pergi jauh.
Di
sebuah toko
buku besar, saya melihat di antara tumpukan judul buku ada nama Puthut
EA di sana. Netizen twitter pasti tahu ia siapa, atau paling tidak pasti
pernah melihat cuitannya. Jika bukan karena nama penulis ini dan logo
penerbit
Mojok, mungkin saya akan berpikir beribu kali untuk membelinya.
Novel setebal
255 halaman ini bercerita tentang seorang pembunuh bayaran, bukan, bukan
dalam artian sebenarnya. Pembunuh bayaran dalam novel ini adalah sebutan untuk seorang
penulis buku, dan menariknya julukan ini pun akan berubah dengan julukan yang
tak kalah anehnya seiring banyaknya pengalaman penulis tersebut.
Saya tidak
tahu apakah para penulis tersebut dalam realitanya memang benar-benar memakai
julukan itu atau hanya karangan Puthut di novel ini saja. Saya bertanya-tanya
hal ini karena nampaknya buku ini berangkat dari kisah nyata seorang penulis. |
Foto: Dimaskfajri
|
Pembaca disajikan
latar belakang tokoh utama dengan pergolakan batin yang disebabkan
oleh perjalanan cintanya yang tidak mulus dan membuat saya ber-hihhhh gemas
di beberapa cerita. Nampaknya, sang tokoh utama masih terjebak oleh kisah cinta yang
belum tuntas.
Yang membuat novel
ini menarik bagi saya, meski novel romansa, namun Puthut banyak menghadirkan
plot menarik mengenai perjalanan seorang penulis yang tumbuh dari lingkungan
kampus pada masa 90an khususnya pada masa 98. Beberapa cerita mengisahkan kegiatan
aktivis mahasiswa di perpolitikan kampus dan nasional pada saat itu. Sehingga, menurut saya, novel ini tidak bisa disebut novel teenlit atau romansa menye-menye.
Hubungan Toxic dan Traumatik
Melalui novel
ini, menurut saya Puthut juga turut membawa isu hubungan toxic. Dalam cerita,
tokoh utama menjadi pasangan yang toxic karena ketidakmampuannya pulih dari
kisah cinta lama yang belum tuntas. Ia akhirnya membawa luka pada pasangan
selanjutnya. Meski tokoh utama bersikap fair dengan jujur akan masa
lalunya, namun sekam masih menyimpan bara yang pada akhirnya akan membakar
semuanya.
Kisah cinta kelam
itu pula yang membuat sang tokoh utama trauma. Perasaan trauma itu membuatnya
selalu gagal dalam menjalin hubungan. Di luar dari novel ini, saya sering kali mendengar
cerita orang-orang yang merasa trauma akan suatu hubungan; entah karena pernah
mempunyai hubungan yang gagal, diselingkuhi, atau melihat orang terdekatnya
disakiti. Sehingga bagi saya, perasaan trauma menjalin hubungan adalah perasaan
yang real dan memang merupakan suatu isu yang layak untuk didiskusikan.
Cinta yang Tak Pernah Tepat Waktu
atau Kita yang Tak Pernah Siap?
Novel ini membuat saya mempertanyakan ulang judulnya,
apakah memang cinta yang tak pernah tepat waktu atau memang kita yang belum
siap menerimanya? Jika dalam kasus tokoh utama yang masih dibayangi kisah cinta
masa lalu, saya rasa jawabannya adalah yang kedua, yakni ia yang belum siap
menerima cinta yang berusaha singgah.
Namun,
tetap saja beberapa cinta memang datang tak tepat waktu: kisah cinta Romeo dan
Juliet yang berakhir tragis, kisah cinta Jack dan Rose yang tenggelam seiring
karamnya kapal Titanic, atau kisah cinta saya dengan seseorang yang saya singgung
di paragraf awal tulisan ini, misalnya.