Ditulis sebagai editorial majalah KLIRING
Ketika
Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) di pertengahan tahun 2018
mengatakan bahwa setidaknya 7 kampus besar di Indonesia telah terpapar
radikalisme, sebenarnya hal ini bukanlah berita yang baru.
Laporan dan berbagai
riset dari beberapa lembaga, seperti PPIM UIN Jakarta, Setara Institute, hingga penelitian LaKIP
memiliki kecenderungan yang sama, yakni masih besarnya kaum muda yang memiliki
pemikiran intoleran bahkan mengamini perilaku radikal.
Sebelum membahas lebih
jauh intoleransi dalam tubuh pemuda, mari kita pahami terlebih dahulu apa itu
pemuda.
Pemuda
dipahami sebagai orang yang berada di antara masa kanak-kanak dan masa dewasa
(Merriam-Webster). Mereka berada dalam masa peralihan untuk menjadi manusia
yang mandiri sepenuhnya. Definisi ini mungkin masih cair. Sehingga kami
mengutip definisi lain yang lebih memberikan batasan.
WHO misalnya,
mendifinisikan pemuda sebagai orang yang berumur 10 hingga 24 tahun. Sedangkan
PBB memberikan batasan umur yang sedikit lebih sempit mengenai pemuda, yakni
berumur 15 hingga 24 tahun. Dari batasan umur tersebut, pemuda bisa dimulai
dari siswa sekolah menengah atas dan sederajat hingga seorang yang sudah siap
untuk bekerja.
Berbicara
mengenai pemuda memang unik. Pemuda selalu dikaitkan dengan idealisme yang
tinggi, penuh dengan keberanian, dan semangat yang membara. Selain itu, kita
semua tahu bahwa pemuda adalah penerus bangsa Indonesia di masa mendatang.
Namun, ketika fakta mengatakan bahwa intoleransi mulai menjangkiti kaum muda
Indonesia, kita harus mulai waspada. Jangan sampai idealisme kaum muda adalah
idealisme dalam memerangi orang yang tidak sepaham dengannya. Atau dengan kata
lain, idealisme yang diracuni paham intoleran.
Kekhawatiran
ini timbul bukan tanpa pijakan. Sydney Jones, melalui orasi ilmiahnya dalam
Nurcholis Madjid Memorial Lecture VII, menyampaikan argumennya mengenai sisi
gelap reformasi di Indonesia tentang munculnya kelompok madani intoleran.
Ketika
ia membahas mengenai kelompok transformatif anti-demokrasi yang bertujuan
mengganti sistem demokrasi Indonesia dengan khilafah, ia menyebutkan bahwa proses
perekrutan kelompok tersebut berfokus di kampus-kampus.
Kelompok anti-demokrasi
itu mungkin bukan kelompok vigilante yang menggunakan otot untuk melakukan
kekerasan terhadap kelompok yang tak sepaham. Namun, seperti yang dikatakan
Jones, mereka adalah “otaknya”.
Hal ini menjadi perhatian karena demokrasi dan
pluralisme akan terancam melalui cara-cara dari dalam, yakni dengan menyusupkan
kader-kader mereka ke dalam posisi penting dalam kampus hingga pemerintahan.
Sehingga mampu memengaruhi keputusan atau kebijakan yang berpotensi menyudutkan
minoritas.
Bibit-Bibit Intoleransi Kaum Muda
Setelah
reformasi tahun 1998, kelompok-kelompok intoleran di Indonesia memang semakin
menajamkan taringnya. Dahulu, tindakan represif dan otoriter rezim Soeharto pada
masa Orde Baru telah membuat kelompok intoleran tumpul sebagai akibat dari
matinya demokrasi.
Ketika reformasi menandai dibukanya gerbang demokrasi serta kebebasan
berserikat dan berkumpul dijamin oleh undang-undang, kelompok intoleran justru
tumbuh subur sebagai “sisi gelap demokrasi”.
Celakanya,
tumbuh suburnya kelompok intoleran yang melakukan kekerasan dan intimidasi juga
disebabkan oleh gagalnya pemerintah dalam menjaga ruang publik. Pemerintah yang
seharusnya menjadi wasit sekaligus pelindung bagi warga sipil dari aksi
intoleransi dan intimidasi, justru menjadi pengecut dengan membiarkan aksi itu
terjadi, terutama jika aksi-aksi tersebut membawa simbol-simbol agama.
Pembiaran
penyebaran paham intoleransi dapat berbahaya. Jika terpapar lebih jauh,
pemikiran intoleran dapat memburuk menjadi intoleransi radikal yang
menormalisasi tindakan kekerasan, dan ini adalah cikal bakal terorisme.
Penyebaran paham intoleransi harus dicegah sedini mungkin agar tidak memasuki
pemikiran anak muda, sehingga tidak ada ruang untuk berkembangnya paham
intoleran menjadi radikal.
Namun,
penyebaran paham intoleran di masyarakat saat ini telah menjadi realitas yang
sulit dihindari untuk anak muda. Ini diperparah melalui cara kelompok intoleran
menyebarkan pahamnya dengan ketat dan tertutup. Perkembangan teknologi pun ikut
membantu mereka dalam menyebarkan paham intoleransi secara luas, salah satunya melalui
media sosial yang memang bersahabat dengan anak muda.
Laporan
UNESCO (Youth and Violent Extrimism on
Social Media, 2017) mengatakan bahwa terdapat korelasi antara paparan
propaganda dan perekrutan ekstrimis serta ekspresi sikap ekstrimis terhadap
meningkatnya risiko radikalisasi kekerasan pada pemuda.
Laporan tersebut
menyatakan media sosial bukan menjadi faktor pendorong untuk melakukan radikalisasi
kekerasan, tetapi ia membentuk lingkungan di internet yang mendukung
radikalisasi. Namun, media sosial hanya salah satunya. Yang lebih mengerikan
adalah terdapat fakta bahwa penanaman bibit intoleransi—lebih buruknya
terorisme—telah menargetkan anak kecil melalui peran keluarga.
Surabaya
dan Sidoarjo, 13 dan 14 Mei 2018 mengejutkan publik Indonesia dengan aksi
terorisme. Namun, yang lebih mengejutkan adalah aksi teror itu melibatkan anak-anak.
Setidaknya 5 orang anak dilibatkan dalam aksi terorisme dengan meledakkan bom
di Gereja Katolik Indonesia dan di gerbang Markas Polrestabes Surabaya.
Kejadian ini merupakan pertama kalinya aksi teror di Indonesia melibatkan
anak-anak (Kompas.com, 2018). Namun, terorisme yang melibatkan anak-anak bukanlah
hal baru di dunia, terutama jika kita mengambil contoh di Timur Tengah.
Pembentukan
bibit intoleran pada anak tidak bisa dilepaskan dari peran orangtua, terutama
ibu. Dalam konteks ini, ibu berperan sebagai pendidik yang menciptakan generasi
muda pelaku intoleransi. Oleh karena itu, keterlibatan perempuan mulai menjadi
hal yang krusial untuk diamati.
Dalam riset Wahid Foundation (2017) yang
dilakukan di lima wilayah yang berjudul “Intoleransi dan Radikalisme di
Kalangan Perempuan” melaporkan adanya temuan aktor-aktor perempuan yang
terafiliasi dengan kelompok intoleran dan radikal. Perempuan tersebut salah
satunya merupakan hasil dari proses rekruitmen yang, lagi-lagi, dilakukan di kampus-kampus.
Jadi,
apa yang ingin disampaikan adalah bahwa intoleransi pada tubuh pemuda tidak
serta merta disusupi saat mereka telah beranjak remaja. Namun, bibit
intoleransi sudah mulai dipengaruhi bahkan saat mereka masih anak-anak melalui
peran keluarga terutama ibu sebagai pendidik anak di rumah.
Selanjutnya,
sekolah dan kampus sebagai tempat perkembangan intelektual justru telah menjadi
lahan basah bagi kelompok intoleran untuk melakukan rekrutmen dan transfer
pengetahuan. Melihat kondisi tersebut, jika mengutip Jones, pemerintah
seharusnya sudah berlaku tegas dengan memberlakukan zero tolerance terhadap tindakan kekerasan dan intoleransi sekecil
apapun itu.
Jika intoleransi terus menerus dibiarkan, akan sulit untuk terus
menjaga pluralisme dan melindungi kelompok minoritas.
Bagaimana Masa Depan Pemuda?
Bonus
demografi yang tengah terjadi di Indonesia berarti banyaknya jumlah pemuda
produktif yang akan mendominasi. Tentu hal ini akan menjadi masalah di masa
depan ketika bonus demografi di Indonesia dibarengi dengan tumbuh suburnya
kelompok intoleran dan radikal.
Ketika kampus-kampus telah disusupi aktor-aktor
intoleran, anak-anak telah didoktrin paham radikal, serta perempuan mulai
terlibat sebagai aktor terorisme, lantas bagaimana dengan masa depan pemuda
Indonesia?
Pembahasan
pemuda dan intoleransi inilah yang membuat kami tertarik untuk mengulasnya.
Terlebih, seluruh awak pers KLIRING dan target pembaca majalah ini juga
termasuk kaum muda sehingga ulasan ini akan semakin relevan untuk dibahas.
Pembaca
sekalian, kita tentu selalu berharap agar idealisme kaum muda selalu berada di
jalur yang seharusnya. Yakni idealisme yang dilandasi pemikiran terbuka
sehingga tidak menutup kritik dan pendapat yang berbeda, dan yang terpenting adalah
selalu menghormati dan menjunjung hak asasi orang lain.
Akhir
kata, selamat membaca!