Ketika bapak saya sakit, dahulu ibu mendoakan saya supaya
bisa jadi dokter agar bisa mengobati bapak. Saya yang masih kecil sih
mengamininya. Menjadi dokter merupakan cita-cita favorit bagi banyak anak
kecil.
Beranjak besar, saya menutup kemungkinan untuk punya
cita-cita jadi dokter karena saya memilih jurusan IPS. Selain karena takut
melihat operasi yang menyayat-nyayat daging, menjadi dokter juga bukan lagi
impian saya. Sebenarnya sih saya juga
tidak tahu apa impian saya hahaha.
Yang pasti, melihat orang mati secara langsung bukanlah hal
yang menyenangkan untuk dijadikan impian. Setidaknya itu yang saya rasakan
setelah melihat bapak.
Saat lulus kuliah pun saya tidak tahu apa yang akan saya
lakukan. Namun satu hal yang saya inginkan adalah saya ingin mengembalikan
kesehatan mental saya.
Setiap orang punya medan perangnya masing-masing. Dalam kasus
saya, medan perang yang saya lalui membuat saya sangat kelelahan. Banyak
malam-malam gelap gulita dan siang yang berlalu dengan hampa.
Ada saat di mana saya berlari dari medan perang tersebut,
hanya untuk meminum air yang telah tercampur darah di sebuah danau kecil di
mana tubuh orang mati berserakan di seberangnya. Saya menjadikan air sebagai
doping, meski ia adalah racun.
Dan saya sadar suatu waktu saya harus menanggungnya. Dan
waktu itu adalah sekarang.
Hidup untuk
Apa?
Ada saat di mana tujuan hidup saya adalah untuk menjadi juara
kelas. Tujuan hidup untuk berguna bagi bangsa dan negara. Atau tujuan hidup
untuk sukses dengan karir dan penghasilan yang tinggi.
Namun, itu semua tampaknya bukan lagi untuk saya.
Pada akhirnya, bentuk-bentuk materialisme tidak lagi menarik.
Ekspektasi hanya tinggal omong kosong.
Saya punya ilmu, saya ingin mengaplikasikannya. Saya punya
bakat, saya ingin mengasahnya lagi. Saya punya kemauan, dan saya ingin lebih
berani untuk speak up dan mewujudkannya.
Hidup hanya sekali, dan jika saya tetiba menghilang, berarti
saya sudah kehabisan air dan makanan, bukan karena tunduk dan menjadi tawanan
perang.
0 komentar:
Posting Komentar