Tahun 2016 yang menegangkan telah usai. Di tahun 2017 ini saya mempunyai resolusi yang akan terus menjadi resolusi di sepanjang hidup saya. Saya ingin membaca buku paling tidak satu buku dalam satu bulan. Terdapat beberapa alasan yang meyakinkan saya membuat resolusi ini. Selain alasan yang sudah jamak diketahui oleh semua orang—seperti membaca buku itu meningkatkan pengetahuan, membuka pikiran terhadap dunia luar, menumbuhkan empati, dan lain sebagainya—saya juga memiliki alasan lain.
Kurangnya minat baca orang Indonesia
Berdasarkan data dari UNESCO tahun 2012, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dari setiap seribu orang, hanya satu orang saja yang mempunyai minat membaca. Angka ini menjadi lebih besar jika dikhususkan pada wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta saja, angkanya bertambah menjadi 0,049. (Beruntung lah saya kuliah di Jogja, walaupun hanya 49 orang dari seribu, setidaknya lingkungan dapat mendukung resolusi yang saya buat). Namun ternyata angka ini pun masih jauh lebih rendah dari Singapura yang sebesar 0,45. Data ini sudah hampir lima tahun yang lalu, bagaimana dengan kondisi saat ini? Apakah data ini masih relevan? Tentu saja saya berharap adanya kenaikan yang signifikan.
TAPI, pada Maret 2016 lalu, Central Connecticut State University bersama peneliti sosial lainnya dalam sebuah survei minat baca menempatkan Indonesia di urutan 60 dari 61 negara. Indonesia hanya lebih unggul dari Bostwana yang berada di urutan 61 dan kalah dari Thailand yang berada di urutan 59. Sepak bola kalah, minat baca pun kalah.
Seperti itulah sedikit gambaran umum kondisi Indonesia dalam literasi. Maka dari itu, sebagai mahasiswa abal-abal yang kerjanya hanya mengeluh, saya membulatkan tekad untuk berkontribusi kepada bangsa ini dengan cara membiasakan diri membaca buku. Sadar karena tidak bisa menghadiahkan Indonesia medali emas di kompetisi internasional, paling tidak saya bisa menjadi makhluk yang tidak menyusahkan bangsa ini karena mudah terprovokasi berita hoax karena saya malas membaca. Betapa memalukan.
Deadline!
“Tidak ada yang pasti kecuali deadline.”
Walaupun saya kuliah di jurusan Manajemen yang berada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, tetapi saya juga menyeburkan diri ke dalam pers mahasiswa fakultas. Sebagai praktisi deadline yang juga memegang teguh prinsip procrastination dengan baik, deadline adalah momok keseharian yang harus saya hadapi. Dengan membaca buku, setidaknya ketakutan akan deadline itu bisa saya minimalisir karena sudah punya persediaan di gudang pikiran.
Selain deadline, juga ada kewajiban yang sekaligus menjadi tujuan awal saya bergabung menjadi anggota pers: belajar nulis! Tom French yang pernah mendapatkan penghargaan Pulitzer tahun 1998 mengatakan,
“Good writers are good readers”
Jika saya ingin (dan juga bercita-cita) menjadi penulis yang baik, saya juga harus menjadi pembaca yang baik. Cita-cita untuk membuat jurnal ilmiah mengharuskan saya membaca banyak buku dan juga jurnal-jurnal ilmiah lainnya. Seperti itu lah alurnya. Kita membaca lalu menulis.
Bung, kenapa hanya 12 buku? Kurang banyak!
Sebagai pemula, saya tidak mempunyai keinginan yang muluk-muluk dengan membaca, misalnya, 50 buku dalam satu tahun. Betapa keajaiban jika itu terjadi! Di tahun lalu saja, saya hanya menghabiskan sepuluh judul buku. Di tahun ini, harus meningkat (paling tidak) menjadi dua belas. Ehe.
Di Jepang, setiap orang bisa menghabiskan sepuluh sampai lima belas judul buku per tahun. Sedangkan di Amerika Serikat, setiap orang bisa menghabiskan sepuluh sampai dua puluh judul buku per tahun. Jika saya bisa menghabiskan dua belas judul buku di tahun ini, setidaknya saya bisa berada dalam range orang Jepang atau Amerika. Sudah lumayan, kan?
Buku apa yang saya baca?
Jujur, saya tidak tahu apakah ini lucu atau miris. Tapi, ketika status saya sebagai mahasiswa ekonomi tidak berbanding lurus dengan buku-buku yang saya baca, di situ saya merasa bingung. Buku yang saya baca hampir semuanya adalah sastra!
Tentu saja saya tidak memasukkan buku-buku keperluan kuliah (seperti buku Mankiw, Brigham, Suryana, dll). Saya hanya memasukkan buku-buku yang saya anggap sebagai hiburan. Dan yang menyangkut tentang ekonomi hanya buku Freakonomics karya Steven Levitt yang belum tuntas saya baca karena terjemahannya yang njelimet. Waduh!
Berikut ini buku yang saya baca di sepanjang tahun 2016:
1. The Golden Road – L. M. Montgomery
2. Frankenstein – Mary Shelley
3. The Little Prince – Antoine de Saint-Exupery
4. Anak Semua Bangsa – Pramoedya Ananta Toer
5. Jejak Langkah – Pramoedya Ananta Toer
6. Ayah – Andrea Hirata
7. Lelaki Harimau – Eka Kurniawan
8. Animal Farm – George Orwell
9. Aku – Sjuman Djaya
10. Burung-burung Manyar – Y. B. Mangunwijaya
11. Buku-buku yang belum saya habiskan termasuk Freakonomics. Ehehe
Mungkin karena saya terlalu lelah dengan teori-teori ekonomi manajemen (termasuk manajemen keuangan 7 sks) yang membuat saya lebih memilih sastra sebagai hiburan. Saya juga cenderung memilih buku-buku yang masuk ke dalam daftar-buku-yang-harus-dibaca-sebelum-mati karena saya orangnya plin-plan dalam memilih.
Itulah satu dari beberapa resolusi saya di tahun 2017 ini yang dengan sangat yakin akan tercapai jika saya belum mati. Semoga!
Tujuh Januari
0 komentar:
Posting Komentar