Penulis: Dimas Khairul Fajri
Editor: Darryl Indra Maulana
Status pandemik virus
corona dan keadaan darurat yang ditimbulkannya menimbulkan pertanyaan apakah
Jakarta—dan kota-kota lainnya yang terdampak COVID-19—harus memberlakukan lockdown. Gubernur Jakarta Anies
Baswedan mengatakan bahwa hampir di setiap kecamatan di Jakarta terdapat kasus corona, baik mereka
yang berstatus orang dalam pemantauan (ODP) maupun pasien dalam pemantauan
(PDP).1
Lockdown artinya
sebuah kota akan dikarantina. Orang-orang akan dilarang untuk memasuki atau
meninggalkan kota. Bahkan, pergerakan keluar dan masuk gedung juga akan
dibatasi. Singkatnya, akan ada restriksi ketat dalam mobilisasi masyarakat.
Hukuman juga akan
berlaku bagi mereka yang tidak melapor jika mempunyai gejala terserang
COVID-19. Tujuannya adalah agar wabah ini mudah untuk ditanggulangi dan
dihambat penyebarannya.2
Namun, status lockdown sepertinya akan berat untuk
diterapkan. Tidak semua orang mempunyai tabungan darurat yang dapat digunakan
untuk bertahan hidup selama tiga hingga enam bulan ke depan. Tidak semua orang
pula cukup beruntung untuk mempunyai pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah.
Misalnya tukang ojek
yang bergantung pada penghasilan harian dari jasanya, atau buruh lepas yang
tidak memiliki penghasilan bulanan yang pasti. Dalam skala makro, terdapat
ancaman PHK karena perusahaan perlu mengurangi beban keuangan yang diakibatkan
oleh kinerja yang lesu.
Sebagai contoh,
industri pariwisata yang lesu akibat mobilisasi masyarakat yang berkurang;
industri manufaktur yang terhambat rantai pasokannya; industri lain juga secara
tidak langsung terkena dampaknya.3 Kita juga perlu menghitung pengangguran,
anak-anak, dan orang tua yang tidak mempunyai penghasilan.
Akhirnya, keadaan
darurat ini akan memukul berat kelas menengah ke bawah akibat kondisi finansial
yang tidak stabil. Mereka akan rentan dengan terbatasnya uang atau sumber daya
untuk membeli keperluan sehari-hari. Tidak ada bedanya pertaruhan hidup dan
mati antara bekerja di luar rumah dengan pertaruhan terkena virus atau diam di
rumah dengan pertaruhan kelaparan.
Universal Basic Income Jadi Solusi?
Pemerintah telah
menyiapkan kebijakan fiskal dan non-fiskal sebagai stimulus ekonomi. Misalnya,
dengan insentif pajak PPh pasal 21, 22, dan 25 yang ditangguhkan oleh
pemerintah untuk mengurangi beban bagi industri.4
Namun, menurut ahli
ekonomi asal Amerika, Greg Mankiw, pemotongan pajak penghasilan dalam situasi
saat ini adalah hal yang “tidak masuk akal” karena tidak memberikan pengaruh
bagi mereka yang tidak bisa bekerja. Maka dari itu, menurutnya memberikan
$1.000 bagi setiap orang akan menjadi langkah awal yang baik.5
Memberikan setiap orang
$1.000 berangkat dari konsep universal
basic income (UBI) atau penghasilan dasar universal. Konsep ini awalnya
timbul sebagai gagasan untuk menanggulangi kemiskinan akibat pekerja yang
tergantikan oleh teknologi, menguatkan kontrak sosial dan kepercayaan pada
pemerintah, serta mengurangi kemiskinan dan jurang penghasilan.6
Menurut Mankiw, dalam
keadaan saat ini, membantu masyarakat dalam keadaan ekonomi yang sulit akan
membuat lebih banyak orang tinggal di rumah. Banyak orang tinggal di rumah
berarti social distancing (atau
menjaga jarak antar orang) meningkat sehingga penyebaran virus akan berkurang.
Akhirnya, ketika pemerintah dan tenaga medis terus menyerukan social distancing dan self isolation untuk membantu menghambat penyebaran virus, masyarakat jadi tidak perlu khawatir akan kurangnya sumberdaya untuk bertahan hidup.
Namun tentu saja, UBI
banyak mendapatkan kritikan, terutama dari sumber dana yang terbatas. Dari mana
sumber dana UBI? Apakah anggaran negara mencukupi? Siapa yang berhak
mendapatkannya? Bagaimana agar UBI tidak menaikkan inflasi?
Argumen humanisme kuat
mendukung penerapan UBI dan jaminan sosial lain untuk melindungi dan menenangkan
masyarakat dalam keadaan darurat seperti ini.