My Mind Goes Here

Rabu, 11 Oktober 2017

Pewarta

Di pantai selatan kita coba mengukir batu yang telah keras dihujam waktu. Namun, yang ada hanya ambisi tentang bagaimana batu itu bisa kita ukir dengan air. Lalu kugenggam pasir, dan menguburnya dalam nadir.

Malam telah larut, kita nyalakan lilin dan meninggalkan hingar bingar sebentar. Ada cahaya hangat di wajah pewarta yang sedang bercerita dengan jenaka. Kata demi kata membuat dilema hilang untuk sementara.

Air laut telah sampai di pesisir, api lilin telah mati, permainan telah berakhir. Kita gelar alas sebagai pembaringan dan menyemayamkan diri di bawah langit luas. Kemudian sadar bahwa kita adalah yang kecil, lebih kecil dari pasir yang terselip dalam surai. Kita adalah yang tidak berdaya, terjebak dalam masa lalu di hadapan kerlip bintang di langit membentang. Kita takjub tatkala bintang jatuh meninggalkan segaris cahaya. Dan mengucap doa berharap waktu dapat dijeda.

Aku menutup mata dan kutarik ujung jaketku berlindung dari angin dingin. Malam masih panjang, namun alam telah manjelma sebagai kekasih. Ia mengusap rambutku dan memeluk tubuhku. Biarlah bau amis dari laut dan nyanyian-nyanyian lantang dari pewarta akan menjadi anggur sebelum tidur. Apabila perjamuan ini adalah yang terakhir, aku harap malam ini tak akan pernah berakhir.

------
Malam itu tanggal dua lima Agustus



Senin, 01 Mei 2017

Membangun Perdamaian, Membangun Harapan

Sekertaris Jendral Ban Ki-moon membunyikan Lonceng Perdamaian pada upacara tahunan yang diselenggarakan di markas besar PBB di peringatan Hari Perdamaian Internasional (21 September). Sumber: www.un.org
“Long live absolute world peace,” yang berarti “panjang umur perdamaian dunia sepenuhnya,” merupakan kalimat yang tertulis pada salah satu sisi Lonceng Perdamaian PBB yang dibunyikan di markas besar PBB. Lonceng tersebut dibunyikan pada acara peringatan Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada 21 September setiap tahunnya.
Perdamaian merupakan satu dari 17 tujuan yang tecantum dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals—disingkat SDGs) dalam dimensi sosial. SDGs merupakan proyek ambisius yang disepakati oleh 193 negara anggota PBB dengan 169 capaian yang meliputi masalah-masalah tujuan pembangunan berkelanjutan.  
Perdamaian merupakan agenda dunia yang menjadi fokus dan tujuan besar umat manusia. Namun di belahan dunia lain, konflik dan perang masih berkecamuk. Sedang lainnya, masih banyak yang bahkan belum bisa memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat berteduh. Walaupun perdamaian dianggap sebagai ide utopis, namun sebagian orang masih meyakini bahwa suatu saat perdamaian pasti akan terwujud di seluruh negara.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi yang besar, ikut andil dalam menjaga perdamaian dunia. Perdamaian juga merupakan amanat yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Indonesia tercatat pernah ikut andil dalam menjaga perdamaian dunia seperti pengiriman kontingen Indonesia dalam misi perdamaian dunia di Lebanon Selatan.
Situasi di Dalam Negeri
Perdamaian di Indonesia nampaknya sedang kembali diuji melalui pemilihan umum kepala daerah serentak. Sentimen agama dan rasial dengan vulgar diperlihatkan sebagai bentuk kampanye politik identitas. Demi kepentingan golongan pribadi, SARA dibenturkan sehingga menimbulkan konflik antar kelas dalam masyarakat.
Di daerah lain, tepatnya di Rembang, Pati, Jawa Tengah, petani-petani Kendeng menuntut segera ditutupnya pabrik semen Rembang yang menyalahi izin lingkungan berdasarkan putusan Mahkamah Agung pada tanggal 5 Oktober 2016. Menurut Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pembangunan pabrik semen di daerah itu akan mengancam kehidupan petani. Mereka terancam kehilangan lahan, air bersih, hingga terpapar pencemaran udara yang berbahaya bagi kesehatan.[1]
Konflik-konflik di atas hanyalah puncak gunung es di lautan, masih banyak konflik-konflik yang tidak terlihat namun terjadi dalam skala kecil di lingkup masyarakat. Konflik seperti inilah yang akan menghambat terwujudnya perdamaian.
Komunitas Perdamaian
Walaupun Indonesia sedang dilanda berbagai konflik, namun ternyata masih ada orang-orang yang dengan gigih membangun perdamaian melalui komunitas-komunitas di berbagai daerah. Di Jogja sendiri, terdapat berbagai komunitas perdamaian yang berisi anak muda dari berbagai latar belakang pendidikan, agama, suku, dan ras. Komunitas-komunitas perdamaian di Yogyakarta berkumpul dan tergabung dalam Forum Jogja Damai.
Komunitas yang pertama yaitu Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC). Komunitas ini terbentuk berawal dari dua orang mahasiswa Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) yaitu Andreas Jonathan dan Ayi Yunus Rusyana yang mengadakan Young Peacemaker Training di Gedung Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Komunitas yang terbentuk pada 2012 ini mempunyai visi “Generasi damai yang berdasar atas kasih kepada Allah dan sesama.”
YIPC mewujudkan visinya melalui dialog antar agama, menggerakkan generasi muda, dan terlibat dalam proses transformasi bangsa dan dunia. Komunitas ini beranggotakan mahasiswa atau alumni yang berusia maksimal 30 tahun dan yang berada di beberapa daerah seperti Yogyakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya. Kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan YCIP dari mulai diskusi lintas agama, Peace Camp, sampai dengan konferensi nasional yang dilaksanakan tiap tahunnya.
Selanjutnya terdapat Jaringan Gusdurian. Seperti namanya, Gusdurian, jaringan ini merupakan kumpulan individu maupun kelompok yang merupakan murid, pengagum, maupun penerus pemikiran Gus Dur.  Jaringan ini tidak memiliki keanggotaan formal. Anggotanya pun tersebar di penjuru Indonesia yang terhubung melalui forum dan dialog karya.
Jaringan ini bergerak di ranah non politik praktis meliputi empat dimensi besar yang ditekuni Gus Dur, yakni Islam dan keimanan, kultural, negara, dan kemanusiaan. Dalam menjalankan misinya, jaringan ini dilandasi sembilan Nilai Gus Dur yang berupa ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, persaudaraan, serta kesederhanaan, sikap ksatria, dan kearifan tradisi.
Komunitas di atas hanyalah contoh dari komunitas yang tergabung dalam Forum Jogja Damai; sebuah forum yang aktif dalam kampanye perdamaian. Misalnya saja pada September 2016 lalu, Forum Jogja Damai menggelar Jogja Peace Parade untuk memperingati hari perdamaian. Tema yang diangkat ialah “Building Bridge for Peace”. Dikutip dari Tribunjogja.com, Ahmad Shalahuddin selaku koordinator acara berharap kegiatan tersebut bisa menjadi jembatan perdamaian ketika di era sekarang banyak orang-orang yang membangun tembok, sekat, dan pembatas agama, ras, suku, maupun golongan. Kegiatan ini juga didukung banyak komunitas antara lain: Young Interfaith Peacemaker Community, Jaringan Gusdurian, The Messenjah, Republik Guyub Sharing Space, Dig Shine, Anti Tank Project, Beringirimbun, AMAN Indonesia, Survove Garage, serta komunitas lainnya.[2]
Bersama-sama Membangun Perdamaian
Dari PBB sampai komunitas-komunitas kecil di Jogja, mereka semua sama-sama mempunyai satu tujuan, yakni membangun perdamaian. Dengan visi dan misi yang mereka miliki, mereka membangun harapan akan terciptanya kehidupan yang lebih baik; konflik antar SARA yang semakin berkurang, kesejahteraan yang semakin meningkat, pendidikan yang semakin merata, juga kualitas hidup yang semakin tinggi. Dan itu semua bisa dimulai dari diri kita sendiri dengan membangun kesadaran akan pentingnya empati agar bisa menghargai orang lain dan mau ikut membantu sesama.
 

[1] Lihat www.rappler.com/indonesia/berita/154683-petani-kendeng-long-march-pabrik-semen (diakses tanggal 20 Februari)
[2] Lihat jogja.tribunnews.com/2016/09/15/forum-jogja-damai-sambut-hari-perdamaian-dengan-jogja-peace-parade (diakses tanggal 20 Februari)
Yipci.org
Gusdurian.net

Rabu, 29 Maret 2017

7 Kemampuan yang Wajib Dimiliki Mahasiswa

Abad ke-21 ditandai dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Pesatnya pertumbuhan teknologi mengakibatkan tersebarnya informasi secara cepat, serta memudahkan semua orang berkomunikasi satu sama lain melewati lintas negara. Akibatnya, batas-batas negara semakin kabur karena adanya globalisasi.

Teknologi yang semakin canggih sangat memberikan dampak yang besar bagi kehidupan manusia. Contoh nyatanya adalah saat pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) sebelum awal semester kuliah. Sistem pengisian KRS yang mulanya secara manual, kini telah berubah. Dengan memanfaatkan komputer dan internet, sistem manual dapat diganti dengan Computer Based Information System (CBIS) yang lebih efisien dalam biaya maupun waktu.

Jika mau lebih kreatif lagi, kita bisa memanfaatkan teknologi untuk mendapatkan informasi baru yang tidak bisa kita dapatkan di bangku kuliah sekalipun. Namun, mudahnya akses terhadap ilmu pengetahuan melalui teknologi oleh semua orang akan secara otomatis meningkatkan daya saing. Hukum alam berlaku; individu yang dapat memanfaatkan informasi untuk meningkatkan dan mendapatkan kemampuan baru akan berhasil bertahan dalam persaingan.

Melihat persoalan tersebut, Tony Wagner dari Harvard University dalam bukunya yang berjudul The Global Achievement Gap mencoba merumuskan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan agar dapat bertahan di abad ke-21. Dalam menyusunnya, Ia mewawancarai ratusan CEO perusahaan, lembaga nonprofit, maupun institusi pendidikan. Wawancara tersebut menghasilkan tujuh kemampuan yang menurutnya harus dimiliki setiap orang, yaitu:

1.      Terampil berpikir kritis dan memecahankan masalah
Kita dituntut untuk mempunyai kemampuan menganalisis, mampu melihat sebuah masalah dari berbagai sudut pandang, dan kemudian mencari jalan untuk memecahkan masalah tersebut.

2.      Kolaborasi dalam jaringan kerja dan memimpin dengan pengaruh
Tidak semua orang secara natural terlahir sebagai pemimpin. Namun, kemampuan untuk memimpin, terutama memimpin diri sendiri, akan sangat dibutuhkan. Ketika bekerjasama dengan orang lain, terkadang mengharuskan kita menjadi seorang manajer yang bertanggungjawab terhadap kelompok. Namun, adakalanya juga kita menjadi seorang bawahan yang diatur orang lain. Maka dari itu, kemampuan untuk bisa berkolaborasi dalam jaringan kerja mutlak dibutuhkan.

3.      Gesit dan mudah beradaptasi
Setiap hari kita mengalami perubahan. Lingkungan kampus maupun lingkungan masyarakat menjadi kian berbeda dari sebelumnya. Hal ini menuntut kita untuk gesit dan bisa beradaptasi dengan cepat menyesuaikan dinamika yang terjadi.

4.      Memiliki daya inisiatif dan jiwa kewirausahaan
Inisiatif timbul dari pemikiran kita terhadap suatu hal. Jika kita terus melatih pemikiran kita untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru, kita akan menjadi inisiator yang akan berguna bagi lingkungan. Apalagi jika ditambah dengan jiwa kewirusahaan yang mengharuskan kita untuk pantang menyerah dan terus mencoba walaupun menghadapi kegagalan.

5.      Efektif dalam berkomunikasi secara lisan dan tulisan
Kita mungkin mempunyai ide-ide yang hebat, namun bagaimana jika kita tidak bisa berkomunikasi secara lisan dan tulisan dengan baik? Ide-ide yang kita miliki tidak akan bisa tersampaikan kepada orang lain dengan baik. Atau ide-ide tersebut hanya akan tersimpan dalam otak kita sendiri.

6.      Mengakses dan menganalisa informasi
Informasi merupakan sumber penting dalam era ini. Dari mulai video kuliah di kampus setingkat Harvard University, kursus di Coursera, sampai berita ekonomi di halaman web Kemenko Perekonomian merupakan informasi yang dapat kita akses dengan mudah. Tersebarnya informasi secara bebas mengharuskan kita untuk mampu memilah dan menyaring informasi yang benar. Jika tidak teliti, kita akan mendapatkan informasi bohong atau hoax yang juga tersebar sama luasnya.

7.      Rasa ingin tahu dan imajinasi
Rasa ingin tahu merupakan modal yang akan mendorong kita untuk terus belajar suatu hal. Rasa ingin tahu dan imajinasi lah yang membuat Wright bersaudara mampu menciptakan pesawat terbang seperti sekarang.
 

Kehidupan kampus merupakan miniatur dari kehidupan nyata. Persaingan dalam mencapai prestasi tertinggi dalam satu jurusan, maupun ketika ingin bergabung ke dalam suatu organisasi merupakan gambaran dari persaingan di dunia kerja kelak. Maka dari itu, kemampuan-kemampuan ini patut untuk dimiliki mahasiswa agar bisa bersaing dan mempunyai daya tawar yang tinggi. Sehingga selepas lulus nanti, bisa menjadi warga dunia yang bisa survive menghadapi persaingan  yang sangat ketat.

Gerakan Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan

Pada tahun 2015, badan Perserikatan Bangsa-bangsa merumuskan 17 hal yang mencakup Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) untuk 15 tahun ke depan.

Beberapa mahasiswa berbaju putih dan biru dengan membawa poster terlihat sedang mengerubungi salah satu pengunjung Sunday Morning UGM, Minggu (25/9/2016). Mereka adalah partisipan dalam gerakan nasional Walk for SDGs yang diselenggarakan oleh AIESEC. Walk for SDGs merupakan sebuah kampanye untuk mengedukasi masyarakat mengenai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang diselenggarakan serentak di 11 kota di Indonesia. 

Ketujuh belas SDGs tersebut yakni No Poverty, Zero Hunger, Good Health and Well-being, Quality Education, Gender Equality, Clean Water and Sanitation, Affordable and Clean Energy, Decent Work and Economic Growth, Industry Innovation and Infrastructure, Reduce Inequalities, Sustainable Cities and Communities, Responsible Consumtion and Production, Climate Action, Life Below Water, Life on Land, Peace Juctice and Strong Institution, dan Partnership for The Goals.

Namun dalam Walk for SDGs di Indonesia hanya difokuskan pada tiga aspek yang paling dibutuhkan di Indonesia. Ketiga aspek ini dipilih berdasarkan survei terhadap 7.400 responden pada tahun 2015 yang menempatkan No Poverty, Good Health and Well-being, dan Quality Education di urutan teratas.
Di Yogyakarta, acara ini diselenggarakan oleh AIESEC in UPN dan bekerja sama dengan BEM KM UPN, Cr Atap Senja, World Merit Jogja, Indonesian Youth Dream, Komunitas Piknik Jogja, dan Muda Bisa Foundation.

Acara diawali dengan orasi, dilanjutkan dengan edukasi oleh partisipan yang sudah dibagi berkelompok. Acara dilanjutkan dengan orasi kembali di Jalan Sosio Humaniora sampai gedung Grha Sabha Pramana UGM.

“Setelah berorasi kita kembali berjalan menuju ke PKKH dan diakhiri dengan dance dan cap tangan bersama sebagai bentuk komitmen para peserta untuk mendukung global goals.” Ucap Manager Digital Public relation AIESEC, Karmansyah Putra.

Pada Desember 2015, PBB mengundang AIESEC untuk ikut berpartisipasi dalam mengimplementasikan Tujuan Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (Global Goals for Sustainable Development). Munculah inisiatif Youth for Global Goals dari AIESEC yang akan memobilisasi dan mengembangkan pemimpin-pemimpin muda dengan menyebarkan kepedulian, keterlibatan, dan menjalankan aksi nyata agar tercapainya tujuan tersebut.

Karmansyah mengatakan, AIESEC sebagai mitra PBB akan terus membuat kegiatan-kegiatan yang mendukung SDGs. AIESEC mempunyai program untuk mengirim partisipan ke luar negeri maupun mendatangkan partisipan dari luar negeri ke Indonesia untuk mengerjakan program sosial. Beberapa program tersebut di antaranya program tentang budaya, pendidikan, dan lingkungan yang telah diselenggarakan di bulan Juli. Untuk ke depannya, AIESEC juga mempunyai program kesehatan yang rencanya akan dilakukan di bulan Desember.

“Kalau untuk projek kesehatan sendiri kita masih dalam proses akan fokusnya di apa. Tapi bentuk kegiatannya itu kita adakan sosialisasi tentang kesehatan, kita akan ada cek kesehatan juga, kita akan memberikan makanan bergizi. Pokoknya semua berhubungan dengan kesehatan.” tambahnya.

Seperti namanya, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, kampanye ini juga diharapkan akan terus dilanjutkan di tahun berikutnya.

Senin, 09 Januari 2017

Baca, Baca, Baca! - Sebuah Resolusi

Tahun 2016 yang menegangkan telah usai. Di tahun 2017 ini saya mempunyai resolusi yang akan terus menjadi resolusi di sepanjang hidup saya. Saya ingin membaca buku paling tidak satu buku dalam satu bulan. Terdapat beberapa alasan yang meyakinkan saya membuat resolusi ini. Selain alasan yang sudah jamak diketahui oleh semua orang—seperti membaca buku itu meningkatkan pengetahuan, membuka pikiran terhadap dunia luar, menumbuhkan empati, dan lain sebagainya—saya juga memiliki alasan lain.
Kurangnya minat baca orang Indonesia

Berdasarkan data dari UNESCO tahun 2012, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dari setiap seribu orang, hanya satu orang saja yang mempunyai minat membaca. Angka ini menjadi lebih besar jika dikhususkan pada wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta saja, angkanya bertambah menjadi 0,049. (Beruntung lah saya kuliah di Jogja, walaupun hanya 49 orang dari seribu, setidaknya lingkungan dapat mendukung resolusi yang saya buat). Namun ternyata angka ini pun masih jauh lebih rendah dari Singapura yang sebesar 0,45. Data ini sudah hampir lima tahun yang lalu, bagaimana dengan kondisi saat ini? Apakah data ini masih relevan? Tentu saja saya berharap adanya kenaikan yang signifikan.

TAPI, pada Maret 2016 lalu, Central Connecticut State University bersama peneliti sosial lainnya dalam sebuah survei minat baca menempatkan Indonesia di urutan 60 dari 61 negara. Indonesia hanya lebih unggul dari Bostwana yang berada di urutan 61 dan kalah dari Thailand yang berada di urutan 59. Sepak bola kalah, minat baca pun kalah. 

Seperti itulah sedikit gambaran umum kondisi Indonesia dalam literasi. Maka dari itu, sebagai mahasiswa abal-abal yang kerjanya hanya mengeluh, saya membulatkan tekad untuk berkontribusi kepada bangsa ini dengan cara membiasakan diri membaca buku. Sadar karena tidak bisa menghadiahkan Indonesia medali emas di kompetisi internasional, paling tidak saya bisa menjadi makhluk yang tidak menyusahkan bangsa ini karena mudah terprovokasi berita hoax karena saya malas membaca. Betapa memalukan. 

Deadline! 
“Tidak ada yang pasti kecuali deadline.”
Walaupun saya kuliah di jurusan Manajemen yang berada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, tetapi saya juga menyeburkan diri ke dalam pers mahasiswa fakultas. Sebagai praktisi deadline yang juga memegang teguh prinsip procrastination dengan baik, deadline adalah momok keseharian yang harus saya hadapi. Dengan membaca buku, setidaknya ketakutan akan deadline itu bisa saya minimalisir karena sudah punya persediaan di gudang pikiran.

Selain deadline, juga ada kewajiban yang sekaligus menjadi tujuan awal saya bergabung menjadi anggota pers: belajar nulis! Tom French yang pernah mendapatkan penghargaan Pulitzer tahun 1998 mengatakan, 
“Good writers are good readers”
Jika saya ingin (dan juga bercita-cita) menjadi penulis yang baik, saya juga harus menjadi pembaca yang baik. Cita-cita untuk membuat jurnal ilmiah mengharuskan saya membaca banyak buku dan juga jurnal-jurnal ilmiah lainnya. Seperti itu lah alurnya. Kita membaca lalu menulis. 

Bung, kenapa hanya 12 buku? Kurang banyak!

Sebagai pemula, saya tidak mempunyai keinginan yang muluk-muluk dengan membaca, misalnya, 50 buku dalam satu tahun. Betapa keajaiban jika itu terjadi! Di tahun lalu saja, saya hanya menghabiskan sepuluh judul buku. Di tahun ini, harus meningkat (paling tidak) menjadi dua belas. Ehe.

Di Jepang, setiap orang bisa menghabiskan sepuluh sampai lima belas judul buku per tahun. Sedangkan di Amerika Serikat, setiap orang bisa menghabiskan sepuluh sampai dua puluh judul buku per tahun. Jika saya bisa menghabiskan dua belas judul buku di tahun ini, setidaknya saya bisa berada dalam range orang Jepang atau Amerika. Sudah lumayan, kan?

Buku apa yang saya baca?

Jujur, saya tidak tahu apakah ini lucu atau miris. Tapi, ketika status saya sebagai mahasiswa ekonomi tidak berbanding lurus dengan buku-buku yang saya baca, di situ saya merasa bingung. Buku yang saya baca hampir semuanya adalah sastra! 

Tentu saja saya tidak memasukkan buku-buku keperluan kuliah (seperti buku Mankiw, Brigham, Suryana, dll). Saya hanya memasukkan buku-buku yang saya anggap sebagai hiburan. Dan yang menyangkut tentang ekonomi hanya buku Freakonomics karya Steven Levitt yang belum tuntas saya baca karena terjemahannya yang njelimet. Waduh!

Berikut ini buku yang saya baca di sepanjang tahun 2016:
1. The Golden Road – L. M. Montgomery
2. Frankenstein – Mary Shelley
3. The Little Prince – Antoine de Saint-Exupery
4. Anak Semua Bangsa – Pramoedya Ananta Toer
5. Jejak Langkah – Pramoedya Ananta Toer
6. Ayah – Andrea Hirata
7. Lelaki Harimau – Eka Kurniawan
8. Animal Farm – George Orwell
9. Aku – Sjuman Djaya
10. Burung-burung Manyar – Y. B. Mangunwijaya
11. Buku-buku yang belum saya habiskan termasuk Freakonomics. Ehehe

Mungkin karena saya terlalu lelah dengan teori-teori ekonomi manajemen (termasuk manajemen keuangan 7 sks) yang membuat saya lebih memilih sastra sebagai hiburan. Saya juga cenderung memilih buku-buku yang masuk ke dalam daftar-buku-yang-harus-dibaca-sebelum-mati karena saya orangnya plin-plan dalam memilih.

Itulah satu dari beberapa resolusi saya di tahun 2017 ini yang dengan sangat yakin akan tercapai jika saya belum mati. Semoga!


Tujuh Januari

Blog

Blog

Copyright © Dimas Fajri's | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com