My Mind Goes Here

Senin, 22 Maret 2021

Hantu

 

Photo by Barthelemy de Mazenod on Unsplash

Hari ini hujan badai dan aku terjebak di stasiun. Biruku menjadi kelabu, tak kulihat jelas manusia-manusia di seberang peron itu. Yang kulihat hanyalah diriku dalam bayang kaca jendela kereta api yang lewat melaju cepat. Bunyi kereta itu beradu kencang dengan suara deras hujan. 

Bising.

Pusing.

Semua suasana ini tak asing bagiku. Beberapa kali kulewati stasiun ini: membawa tas ransel atau sebuah koper. Harusnya kuikuti nasehatmu dahulu untuk tidak pergi. Namun aku ingin pergi untuk mencari entah, yang pada akhirnya menghasilkan entah. Dan aku hanya semakin merindukan nasi hangat dengan telor mata sapi, juga selimut hangat pengusir sepi.

Saat ini udaranya terasa dingin, anginnya tipis-tipis menyayat tengkuk leherku hingga aku bergidik. Katanya selain dingin, bergidik juga berarti disebabkan adanya hantu. Kurasa tepat. Hantu bisa menjelma apa saja yang menakutkan dan membuat kita bergidik, misalnya masa depan dengan ketidakpastiannya atau ditinggal ketika sedang sayang-sayangnya.

Apakah hidup adalah hantu? Karena ia penuh dengan ketakutan-ketakutan. Namun ia menjadi lucu: jika seseorang dihantui kehidupan, lalu apa yang harus ia lakukan?

Udara semakin dingin, aku tak tahan dingin. Tiket sudah kupesan dan keretaku mungkin akan datang sebentar lagi, di peron nomer empat.

Hujan semakin deras, kata-kataku sudah habis terkuras, aku akan berkemas.

 

 

 

 

Selasa, 16 Februari 2021

Rasa Trauma, Hubungan Toxic, dan Cinta yang Tak Pernah Tepat Waktu

Sebuah catatan dari novel “Cinta Tak Pernah Tepat waktu” karya Puthut EA 

Saya jarang sekali membaca novel romansa, namun entah kenapa hari itu saya ingin sekali membeli buku ini. Saat itu di Jakarta, saya sedang menghabiskan waktu sambil menunggu seseorang yang sedang mengikuti sebuah tes sebagai persyaratan untuk ia bisa pergi jauh.

Di sebuah toko buku besar, saya melihat di antara tumpukan judul buku ada nama Puthut EA di sana. Netizen twitter pasti tahu ia siapa, atau paling tidak pasti pernah melihat cuitannya. Jika bukan karena nama penulis ini dan logo penerbit Mojok, mungkin saya akan berpikir beribu kali untuk membelinya.

Novel setebal 255 halaman ini bercerita tentang seorang pembunuh bayaran, bukan, bukan dalam artian sebenarnya. Pembunuh bayaran dalam novel ini adalah sebutan untuk seorang penulis buku, dan menariknya julukan ini pun akan berubah dengan julukan yang tak kalah anehnya seiring banyaknya pengalaman penulis tersebut.

Saya tidak tahu apakah para penulis tersebut dalam realitanya memang benar-benar memakai julukan itu atau hanya karangan Puthut di novel ini saja. Saya bertanya-tanya hal ini karena nampaknya buku ini berangkat dari kisah nyata seorang penulis.

Foto: Dimaskfajri

Pembaca disajikan latar belakang tokoh utama dengan pergolakan batin yang disebabkan oleh perjalanan cintanya yang tidak mulus dan membuat saya ber-hihhhh gemas di beberapa cerita. Nampaknya, sang tokoh utama masih terjebak oleh kisah cinta yang belum tuntas.

Yang membuat novel ini menarik bagi saya, meski novel romansa, namun Puthut banyak menghadirkan plot menarik mengenai perjalanan seorang penulis yang tumbuh dari lingkungan kampus pada masa 90an khususnya pada masa 98. Beberapa cerita mengisahkan kegiatan aktivis mahasiswa di perpolitikan kampus dan nasional pada saat itu.  Sehingga, menurut saya, novel ini tidak bisa disebut novel teenlit atau romansa menye-menye.

Hubungan Toxic dan Traumatik

Melalui novel ini, menurut saya Puthut juga turut membawa isu hubungan toxic. Dalam cerita, tokoh utama menjadi pasangan yang toxic karena ketidakmampuannya pulih dari kisah cinta lama yang belum tuntas. Ia akhirnya membawa luka pada pasangan selanjutnya. Meski tokoh utama bersikap fair dengan jujur akan masa lalunya, namun sekam masih menyimpan bara yang pada akhirnya akan membakar semuanya.

Kisah cinta kelam itu pula yang membuat sang tokoh utama trauma. Perasaan trauma itu membuatnya selalu gagal dalam menjalin hubungan. Di luar dari novel ini, saya sering kali mendengar cerita orang-orang yang merasa trauma akan suatu hubungan; entah karena pernah mempunyai hubungan yang gagal, diselingkuhi, atau melihat orang terdekatnya disakiti. Sehingga bagi saya, perasaan trauma menjalin hubungan adalah perasaan yang real dan memang merupakan suatu isu yang layak untuk didiskusikan.

Cinta yang Tak Pernah Tepat Waktu atau Kita yang Tak Pernah Siap?

Novel ini membuat saya mempertanyakan ulang judulnya, apakah memang cinta yang tak pernah tepat waktu atau memang kita yang belum siap menerimanya? Jika dalam kasus tokoh utama yang masih dibayangi kisah cinta masa lalu, saya rasa jawabannya adalah yang kedua, yakni ia yang belum siap menerima cinta yang berusaha singgah.

Namun, tetap saja beberapa cinta memang datang tak tepat waktu: kisah cinta Romeo dan Juliet yang berakhir tragis, kisah cinta Jack dan Rose yang tenggelam seiring karamnya kapal Titanic, atau kisah cinta saya dengan seseorang yang saya singgung di paragraf awal tulisan ini, misalnya.

 

 

 

Blog

Blog

Copyright © Dimas Fajri's | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com