My Mind Goes Here

Senin, 22 Maret 2021

Hantu

 

Photo by Barthelemy de Mazenod on Unsplash

Hari ini hujan badai dan aku terjebak di stasiun. Biruku menjadi kelabu, tak kulihat jelas manusia-manusia di seberang peron itu. Yang kulihat hanyalah diriku dalam bayang kaca jendela kereta api yang lewat melaju cepat. Bunyi kereta itu beradu kencang dengan suara deras hujan. 

Bising.

Pusing.

Semua suasana ini tak asing bagiku. Beberapa kali kulewati stasiun ini: membawa tas ransel atau sebuah koper. Harusnya kuikuti nasehatmu dahulu untuk tidak pergi. Namun aku ingin pergi untuk mencari entah, yang pada akhirnya menghasilkan entah. Dan aku hanya semakin merindukan nasi hangat dengan telor mata sapi, juga selimut hangat pengusir sepi.

Saat ini udaranya terasa dingin, anginnya tipis-tipis menyayat tengkuk leherku hingga aku bergidik. Katanya selain dingin, bergidik juga berarti disebabkan adanya hantu. Kurasa tepat. Hantu bisa menjelma apa saja yang menakutkan dan membuat kita bergidik, misalnya masa depan dengan ketidakpastiannya atau ditinggal ketika sedang sayang-sayangnya.

Apakah hidup adalah hantu? Karena ia penuh dengan ketakutan-ketakutan. Namun ia menjadi lucu: jika seseorang dihantui kehidupan, lalu apa yang harus ia lakukan?

Udara semakin dingin, aku tak tahan dingin. Tiket sudah kupesan dan keretaku mungkin akan datang sebentar lagi, di peron nomer empat.

Hujan semakin deras, kata-kataku sudah habis terkuras, aku akan berkemas.

 

 

 

 

Selasa, 16 Februari 2021

Rasa Trauma, Hubungan Toxic, dan Cinta yang Tak Pernah Tepat Waktu

Sebuah catatan dari novel “Cinta Tak Pernah Tepat waktu” karya Puthut EA 

Saya jarang sekali membaca novel romansa, namun entah kenapa hari itu saya ingin sekali membeli buku ini. Saat itu di Jakarta, saya sedang menghabiskan waktu sambil menunggu seseorang yang sedang mengikuti sebuah tes sebagai persyaratan untuk ia bisa pergi jauh.

Di sebuah toko buku besar, saya melihat di antara tumpukan judul buku ada nama Puthut EA di sana. Netizen twitter pasti tahu ia siapa, atau paling tidak pasti pernah melihat cuitannya. Jika bukan karena nama penulis ini dan logo penerbit Mojok, mungkin saya akan berpikir beribu kali untuk membelinya.

Novel setebal 255 halaman ini bercerita tentang seorang pembunuh bayaran, bukan, bukan dalam artian sebenarnya. Pembunuh bayaran dalam novel ini adalah sebutan untuk seorang penulis buku, dan menariknya julukan ini pun akan berubah dengan julukan yang tak kalah anehnya seiring banyaknya pengalaman penulis tersebut.

Saya tidak tahu apakah para penulis tersebut dalam realitanya memang benar-benar memakai julukan itu atau hanya karangan Puthut di novel ini saja. Saya bertanya-tanya hal ini karena nampaknya buku ini berangkat dari kisah nyata seorang penulis.

Foto: Dimaskfajri

Pembaca disajikan latar belakang tokoh utama dengan pergolakan batin yang disebabkan oleh perjalanan cintanya yang tidak mulus dan membuat saya ber-hihhhh gemas di beberapa cerita. Nampaknya, sang tokoh utama masih terjebak oleh kisah cinta yang belum tuntas.

Yang membuat novel ini menarik bagi saya, meski novel romansa, namun Puthut banyak menghadirkan plot menarik mengenai perjalanan seorang penulis yang tumbuh dari lingkungan kampus pada masa 90an khususnya pada masa 98. Beberapa cerita mengisahkan kegiatan aktivis mahasiswa di perpolitikan kampus dan nasional pada saat itu.  Sehingga, menurut saya, novel ini tidak bisa disebut novel teenlit atau romansa menye-menye.

Hubungan Toxic dan Traumatik

Melalui novel ini, menurut saya Puthut juga turut membawa isu hubungan toxic. Dalam cerita, tokoh utama menjadi pasangan yang toxic karena ketidakmampuannya pulih dari kisah cinta lama yang belum tuntas. Ia akhirnya membawa luka pada pasangan selanjutnya. Meski tokoh utama bersikap fair dengan jujur akan masa lalunya, namun sekam masih menyimpan bara yang pada akhirnya akan membakar semuanya.

Kisah cinta kelam itu pula yang membuat sang tokoh utama trauma. Perasaan trauma itu membuatnya selalu gagal dalam menjalin hubungan. Di luar dari novel ini, saya sering kali mendengar cerita orang-orang yang merasa trauma akan suatu hubungan; entah karena pernah mempunyai hubungan yang gagal, diselingkuhi, atau melihat orang terdekatnya disakiti. Sehingga bagi saya, perasaan trauma menjalin hubungan adalah perasaan yang real dan memang merupakan suatu isu yang layak untuk didiskusikan.

Cinta yang Tak Pernah Tepat Waktu atau Kita yang Tak Pernah Siap?

Novel ini membuat saya mempertanyakan ulang judulnya, apakah memang cinta yang tak pernah tepat waktu atau memang kita yang belum siap menerimanya? Jika dalam kasus tokoh utama yang masih dibayangi kisah cinta masa lalu, saya rasa jawabannya adalah yang kedua, yakni ia yang belum siap menerima cinta yang berusaha singgah.

Namun, tetap saja beberapa cinta memang datang tak tepat waktu: kisah cinta Romeo dan Juliet yang berakhir tragis, kisah cinta Jack dan Rose yang tenggelam seiring karamnya kapal Titanic, atau kisah cinta saya dengan seseorang yang saya singgung di paragraf awal tulisan ini, misalnya.

 

 

 

Kamis, 11 Juni 2020

Pemuda di Ambang Intoleransi

 
Ditulis sebagai editorial majalah KLIRING
 
Ketika Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) di pertengahan tahun 2018 mengatakan bahwa setidaknya 7 kampus besar di Indonesia telah terpapar radikalisme, sebenarnya hal ini bukanlah berita yang baru. 
Laporan dan berbagai riset dari beberapa lembaga, seperti PPIM UIN Jakarta, Setara Institute, hingga penelitian LaKIP memiliki kecenderungan yang sama, yakni masih besarnya kaum muda yang memiliki pemikiran intoleran bahkan mengamini perilaku radikal. 
Sebelum membahas lebih jauh intoleransi dalam tubuh pemuda, mari kita pahami terlebih dahulu apa itu pemuda.
Pemuda dipahami sebagai orang yang berada di antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (Merriam-Webster). Mereka berada dalam masa peralihan untuk menjadi manusia yang mandiri sepenuhnya. Definisi ini mungkin masih cair. Sehingga kami mengutip definisi lain yang lebih memberikan batasan. 
WHO misalnya, mendifinisikan pemuda sebagai orang yang berumur 10 hingga 24 tahun. Sedangkan PBB memberikan batasan umur yang sedikit lebih sempit mengenai pemuda, yakni berumur 15 hingga 24 tahun. Dari batasan umur tersebut, pemuda bisa dimulai dari siswa sekolah menengah atas dan sederajat hingga seorang yang sudah siap untuk bekerja.
Berbicara mengenai pemuda memang unik. Pemuda selalu dikaitkan dengan idealisme yang tinggi, penuh dengan keberanian, dan semangat yang membara. Selain itu, kita semua tahu bahwa pemuda adalah penerus bangsa Indonesia di masa mendatang. 
Namun, ketika fakta mengatakan bahwa intoleransi mulai menjangkiti kaum muda Indonesia, kita harus mulai waspada. Jangan sampai idealisme kaum muda adalah idealisme dalam memerangi orang yang tidak sepaham dengannya. Atau dengan kata lain, idealisme yang diracuni paham intoleran.
Kekhawatiran ini timbul bukan tanpa pijakan. Sydney Jones, melalui orasi ilmiahnya dalam Nurcholis Madjid Memorial Lecture VII, menyampaikan argumennya mengenai sisi gelap reformasi di Indonesia tentang munculnya kelompok madani intoleran. 
Ketika ia membahas mengenai kelompok transformatif anti-demokrasi yang bertujuan mengganti sistem demokrasi Indonesia dengan khilafah, ia menyebutkan bahwa proses perekrutan kelompok tersebut berfokus di kampus-kampus. 
Kelompok anti-demokrasi itu mungkin bukan kelompok vigilante yang menggunakan otot untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok yang tak sepaham. Namun, seperti yang dikatakan Jones, mereka adalah “otaknya”. 
Hal ini menjadi perhatian karena demokrasi dan pluralisme akan terancam melalui cara-cara dari dalam, yakni dengan menyusupkan kader-kader mereka ke dalam posisi penting dalam kampus hingga pemerintahan. Sehingga mampu memengaruhi keputusan atau kebijakan yang berpotensi menyudutkan minoritas. 

Bibit-Bibit Intoleransi Kaum Muda
Setelah reformasi tahun 1998, kelompok-kelompok intoleran di Indonesia memang semakin menajamkan taringnya. Dahulu, tindakan represif dan otoriter rezim Soeharto pada masa Orde Baru telah membuat kelompok intoleran tumpul sebagai akibat dari matinya demokrasi. 
Ketika reformasi menandai dibukanya gerbang demokrasi serta kebebasan berserikat dan berkumpul dijamin oleh undang-undang, kelompok intoleran justru tumbuh subur sebagai “sisi gelap demokrasi”.
Celakanya, tumbuh suburnya kelompok intoleran yang melakukan kekerasan dan intimidasi juga disebabkan oleh gagalnya pemerintah dalam menjaga ruang publik. Pemerintah yang seharusnya menjadi wasit sekaligus pelindung bagi warga sipil dari aksi intoleransi dan intimidasi, justru menjadi pengecut dengan membiarkan aksi itu terjadi, terutama jika aksi-aksi tersebut membawa simbol-simbol agama.
Pembiaran penyebaran paham intoleransi dapat berbahaya. Jika terpapar lebih jauh, pemikiran intoleran dapat memburuk menjadi intoleransi radikal yang menormalisasi tindakan kekerasan, dan ini adalah cikal bakal terorisme. 
Penyebaran paham intoleransi harus dicegah sedini mungkin agar tidak memasuki pemikiran anak muda, sehingga tidak ada ruang untuk berkembangnya paham intoleran menjadi radikal.
Namun, penyebaran paham intoleran di masyarakat saat ini telah menjadi realitas yang sulit dihindari untuk anak muda. Ini diperparah melalui cara kelompok intoleran menyebarkan pahamnya dengan ketat dan tertutup. Perkembangan teknologi pun ikut membantu mereka dalam menyebarkan paham intoleransi secara luas, salah satunya melalui media sosial yang memang bersahabat dengan anak muda.
Laporan UNESCO (Youth and Violent Extrimism on Social Media, 2017) mengatakan bahwa terdapat korelasi antara paparan propaganda dan perekrutan ekstrimis serta ekspresi sikap ekstrimis terhadap meningkatnya risiko radikalisasi kekerasan pada pemuda. 
Laporan tersebut menyatakan media sosial bukan menjadi faktor pendorong untuk melakukan radikalisasi kekerasan, tetapi ia membentuk lingkungan di internet yang mendukung radikalisasi. Namun, media sosial hanya salah satunya. Yang lebih mengerikan adalah terdapat fakta bahwa penanaman bibit intoleransi—lebih buruknya terorisme—telah menargetkan anak kecil melalui peran keluarga.
Surabaya dan Sidoarjo, 13 dan 14 Mei 2018 mengejutkan publik Indonesia dengan aksi terorisme. Namun, yang lebih mengejutkan adalah aksi teror itu melibatkan anak-anak. Setidaknya 5 orang anak dilibatkan dalam aksi terorisme dengan meledakkan bom di Gereja Katolik Indonesia dan di gerbang Markas Polrestabes Surabaya. 
Kejadian ini merupakan pertama kalinya aksi teror di Indonesia melibatkan anak-anak (Kompas.com, 2018). Namun, terorisme yang melibatkan anak-anak bukanlah hal baru di dunia, terutama jika kita mengambil contoh di Timur Tengah.
Pembentukan bibit intoleran pada anak tidak bisa dilepaskan dari peran orangtua, terutama ibu. Dalam konteks ini, ibu berperan sebagai pendidik yang menciptakan generasi muda pelaku intoleransi. Oleh karena itu, keterlibatan perempuan mulai menjadi hal yang krusial untuk diamati. 
Dalam riset Wahid Foundation (2017) yang dilakukan di lima wilayah yang berjudul “Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan” melaporkan adanya temuan aktor-aktor perempuan yang terafiliasi dengan kelompok intoleran dan radikal. Perempuan tersebut salah satunya merupakan hasil dari proses rekruitmen yang, lagi-lagi, dilakukan di kampus-kampus.
Jadi, apa yang ingin disampaikan adalah bahwa intoleransi pada tubuh pemuda tidak serta merta disusupi saat mereka telah beranjak remaja. Namun, bibit intoleransi sudah mulai dipengaruhi bahkan saat mereka masih anak-anak melalui peran keluarga terutama ibu sebagai pendidik anak di rumah. 
Selanjutnya, sekolah dan kampus sebagai tempat perkembangan intelektual justru telah menjadi lahan basah bagi kelompok intoleran untuk melakukan rekrutmen dan transfer pengetahuan. Melihat kondisi tersebut, jika mengutip Jones, pemerintah seharusnya sudah berlaku tegas dengan memberlakukan zero tolerance terhadap tindakan kekerasan dan intoleransi sekecil apapun itu. 
Jika intoleransi terus menerus dibiarkan, akan sulit untuk terus menjaga pluralisme dan melindungi kelompok minoritas.

Bagaimana Masa Depan Pemuda?
Bonus demografi yang tengah terjadi di Indonesia berarti banyaknya jumlah pemuda produktif yang akan mendominasi. Tentu hal ini akan menjadi masalah di masa depan ketika bonus demografi di Indonesia dibarengi dengan tumbuh suburnya kelompok intoleran dan radikal. 
Ketika kampus-kampus telah disusupi aktor-aktor intoleran, anak-anak telah didoktrin paham radikal, serta perempuan mulai terlibat sebagai aktor terorisme, lantas bagaimana dengan masa depan pemuda Indonesia?
Pembahasan pemuda dan intoleransi inilah yang membuat kami tertarik untuk mengulasnya. Terlebih, seluruh awak pers KLIRING dan target pembaca majalah ini juga termasuk kaum muda sehingga ulasan ini akan semakin relevan untuk dibahas.
Pembaca sekalian, kita tentu selalu berharap agar idealisme kaum muda selalu berada di jalur yang seharusnya. Yakni idealisme yang dilandasi pemikiran terbuka sehingga tidak menutup kritik dan pendapat yang berbeda, dan yang terpenting adalah selalu menghormati dan menjunjung hak asasi orang lain.
Akhir kata, selamat membaca!

Minggu, 15 Maret 2020

Apakah Ini Saatnya Kita Butuh Universal Basic Income?

Penulis: Dimas Khairul Fajri
Editor: Darryl Indra Maulana

Status pandemik virus corona dan keadaan darurat yang ditimbulkannya menimbulkan pertanyaan apakah Jakarta—dan kota-kota lainnya yang terdampak COVID-19—harus memberlakukan lockdown. Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengatakan bahwa hampir di setiap kecamatan di Jakarta terdapat kasus corona, baik mereka yang berstatus orang dalam pemantauan (ODP) maupun pasien dalam pemantauan (PDP).1

Lockdown artinya sebuah kota akan dikarantina. Orang-orang akan dilarang untuk memasuki atau meninggalkan kota. Bahkan, pergerakan keluar dan masuk gedung juga akan dibatasi. Singkatnya, akan ada restriksi ketat dalam mobilisasi masyarakat.

Hukuman juga akan berlaku bagi mereka yang tidak melapor jika mempunyai gejala terserang COVID-19. Tujuannya adalah agar wabah ini mudah untuk ditanggulangi dan dihambat penyebarannya.2

Namun, status lockdown sepertinya akan berat untuk diterapkan. Tidak semua orang mempunyai tabungan darurat yang dapat digunakan untuk bertahan hidup selama tiga hingga enam bulan ke depan. Tidak semua orang pula cukup beruntung untuk mempunyai pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah.

Misalnya tukang ojek yang bergantung pada penghasilan harian dari jasanya, atau buruh lepas yang tidak memiliki penghasilan bulanan yang pasti. Dalam skala makro, terdapat ancaman PHK karena perusahaan perlu mengurangi beban keuangan yang diakibatkan oleh kinerja yang lesu.

Sebagai contoh, industri pariwisata yang lesu akibat mobilisasi masyarakat yang berkurang; industri manufaktur yang terhambat rantai pasokannya; industri lain juga secara tidak langsung terkena dampaknya.3 Kita juga perlu menghitung pengangguran, anak-anak, dan orang tua yang tidak mempunyai penghasilan.

Akhirnya, keadaan darurat ini akan memukul berat kelas menengah ke bawah akibat kondisi finansial yang tidak stabil. Mereka akan rentan dengan terbatasnya uang atau sumber daya untuk membeli keperluan sehari-hari. Tidak ada bedanya pertaruhan hidup dan mati antara bekerja di luar rumah dengan pertaruhan terkena virus atau diam di rumah dengan pertaruhan kelaparan.

Universal Basic Income Jadi Solusi?


Pemerintah telah menyiapkan kebijakan fiskal dan non-fiskal sebagai stimulus ekonomi. Misalnya, dengan insentif pajak PPh pasal 21, 22, dan 25 yang ditangguhkan oleh pemerintah untuk mengurangi beban bagi industri.4

Namun, menurut ahli ekonomi asal Amerika, Greg Mankiw, pemotongan pajak penghasilan dalam situasi saat ini adalah hal yang “tidak masuk akal” karena tidak memberikan pengaruh bagi mereka yang tidak bisa bekerja. Maka dari itu, menurutnya memberikan $1.000 bagi setiap orang akan menjadi langkah awal yang baik.5

Memberikan setiap orang $1.000 berangkat dari konsep universal basic income (UBI) atau penghasilan dasar universal. Konsep ini awalnya timbul sebagai gagasan untuk menanggulangi kemiskinan akibat pekerja yang tergantikan oleh teknologi, menguatkan kontrak sosial dan kepercayaan pada pemerintah, serta mengurangi kemiskinan dan jurang penghasilan.6

Menurut Mankiw, dalam keadaan saat ini, membantu masyarakat dalam keadaan ekonomi yang sulit akan membuat lebih banyak orang tinggal di rumah. Banyak orang tinggal di rumah berarti social distancing (atau menjaga jarak antar orang) meningkat sehingga penyebaran virus akan berkurang.

Akhirnya, ketika pemerintah dan tenaga medis terus menyerukan social distancing dan self isolation untuk membantu menghambat penyebaran virus, masyarakat jadi tidak perlu khawatir akan kurangnya sumberdaya untuk bertahan hidup.

Namun tentu saja, UBI banyak mendapatkan kritikan, terutama dari sumber dana yang terbatas. Dari mana sumber dana UBI? Apakah anggaran negara mencukupi? Siapa yang berhak mendapatkannya? Bagaimana agar UBI tidak menaikkan inflasi?

Argumen humanisme kuat mendukung penerapan UBI dan jaminan sosial lain untuk melindungi dan menenangkan masyarakat dalam keadaan darurat seperti ini.

Usaha pemerintah Indonesia untuk menjaga kestabilan ekonomi patut diapresiasi. Namun, pemerintah juga harus khawatir dengan masyarakat yang mulai muak dengan gimmick dan gaya komunikasi pemerintah yang tampaknya lebih mengkhawatirkan investor daripada masyarakatnya. Belum lagi dengan penanganan informasi yang tidak terbuka, yang justru menyebabkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah menjadi menurun.


Referensi










Selasa, 10 Maret 2020

Mendefinisikan Ulang Kehidupan


Ketika bapak saya sakit, dahulu ibu mendoakan saya supaya bisa jadi dokter agar bisa mengobati bapak. Saya yang masih kecil sih mengamininya. Menjadi dokter merupakan cita-cita favorit bagi banyak anak kecil.

Beranjak besar, saya menutup kemungkinan untuk punya cita-cita jadi dokter karena saya memilih jurusan IPS. Selain karena takut melihat operasi yang menyayat-nyayat daging, menjadi dokter juga bukan lagi impian saya. Sebenarnya sih saya juga tidak tahu apa impian saya hahaha.

Yang pasti, melihat orang mati secara langsung bukanlah hal yang menyenangkan untuk dijadikan impian. Setidaknya itu yang saya rasakan setelah melihat bapak.

Saat lulus kuliah pun saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan. Namun satu hal yang saya inginkan adalah saya ingin mengembalikan kesehatan mental saya.

Setiap orang punya medan perangnya masing-masing. Dalam kasus saya, medan perang yang saya lalui membuat saya sangat kelelahan. Banyak malam-malam gelap gulita dan siang yang berlalu dengan hampa.

Ada saat di mana saya berlari dari medan perang tersebut, hanya untuk meminum air yang telah tercampur darah di sebuah danau kecil di mana tubuh orang mati berserakan di seberangnya. Saya menjadikan air sebagai doping, meski ia adalah racun.

Dan saya sadar suatu waktu saya harus menanggungnya. Dan waktu itu adalah sekarang.

Hidup untuk Apa?

Ada saat di mana tujuan hidup saya adalah untuk menjadi juara kelas. Tujuan hidup untuk berguna bagi bangsa dan negara. Atau tujuan hidup untuk sukses dengan karir dan penghasilan yang tinggi.

Namun, itu semua tampaknya bukan lagi untuk saya.

Pada akhirnya, bentuk-bentuk materialisme tidak lagi menarik. Ekspektasi hanya tinggal omong kosong.

Saya punya ilmu, saya ingin mengaplikasikannya. Saya punya bakat, saya ingin mengasahnya lagi. Saya punya kemauan, dan saya ingin lebih berani untuk speak up dan mewujudkannya.

Hidup hanya sekali, dan jika saya tetiba menghilang, berarti saya sudah kehabisan air dan makanan, bukan karena tunduk dan menjadi tawanan perang.




Selasa, 14 Januari 2020

Hal yang Saya Tidak Mengerti dari Film Imperfect

Note: tulisan ini murni pertanyaan, bukan diniatkan sebagai sebuah penilaian. Tapi berhubung saya bukan pakar kata-kata, mungkin penggunaan diksi saya akan banyak yang keliru. Jadi harap maklum.
Review Dulu

Saat saya menonton film ini di bioskop, banyak adegan yang membuat penonton di bioskop tertawa. Terutama bagian mereun, percakapan saat menjemur, atau mungkin dari akting Shareefa Daanish. Jadi, saya kira aman untuk mengatakan bahwa film ini memang dapat menghibur banyak penonton bermereun-mereun.

Dari berbagai review yang saya baca pun, banyak yang merasa relate dengan cerita film ini, terlebih para perempuan. Saya pun paham, film ini tepat menyinggung permasalahan sehari-hari dari perempuan (atau mungkin juga laki-laki).

Film ini membawa permasalahan insekuritas yang timbul karena standar kecantikan yang saat ini tertanam di benak kita: bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan langsing, berkulit putih, dan pintar merias wajah.

Film ini juga menggambarkan adanya diskriminasi pada perempuan yang tidak mampu mengikuti “standar kecantikan” tersebut sehingga menciptakan beauty privilege.

Beauty privilege itu sederhananya adalah ketika Anda cantik, orang akan gampang memberikan tempat duduk, mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan promosi dalam karir, dan keuntungan lainnya seperti yang digambarkan dalam film ini.

Film ini hadir dengan satu tagline pamungkas, yaitu mengubah insecure dengan bersyukur. Ya intinya mah seperti itu lah ya. Saya tidak akan menjelaskan lebih jauh.

Sekarang Pertanyaannya

Saat tokoh utama bertransformasi dari perempuan yang gemuk dan hitam menjadi perempuan yang putih, langsing, dan pintar merias wajah, dahi saya mulai mengkerut bertanya-tanya.

Sejak awal, tokoh utama digambarkan sebagai sosok cuek dengan penampilan dan mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Jarang loh perempuan seperti dia yang mau mengajari anak-anak seperti itu.

Tapi ketika dia bertransformasi menjadi “cantik”, sifatnya mulai berubah.  Dari perempuan dengan jiwa sosial yang tinggi, menjadi perempuan dengan obsesi pada tubuh kurus dan riasan wajah, dan jangan lupakan pergaulan dengan perempuan “cantik” lainnya.

Saya cuma bertanya-tanya saja, apakah menjadi “cantik” berarti harus meniadakan jiwa sosial dan rendah hati yang dia miliki? Apakah mendapatkan yang satu berarti menghilangkan yang lainnya?

Jika begitu cara kerjanya, berarti film ini secara tidak langsung melanggengkan stigma pada perempuan “cantik”, bahwa perempuan cantik hanya peduli pada penampilan dan riasan wajahnya saja.

Apalagi adegan ketika pacarnya (sang fotografer) harus memakai jaket yang dia beli demi terlihat lebih baik di hadapan banyak orang. Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa sifatnya memang sudah berubah, dan sifat rendah hati yang sejak awal film ini tampilkan sudah menghilang.

Masalahnya adalah saya kok tidak yakin ada seorang yang mempunyai jiwa sosial dan rendah hati yang begitu kuat, lalu ketika berubah “cantik” jiwa tersebut langsung menghilang.

Entahlah, saya bertanya lagi, apakah film ini terjebak dalam cerita klise? Dari si buruk rupa baik hati, menjadi si cantik jelita tapi sombong?

Itu saja pertanyaan saya. Berhubung saya bukan movie freak dan juga bukan orang yang bekecimpung di dunia film, tulisan ini murni opini pribadi saja.

Akhir kata, film ini bagi saya pribadi cukup menghibur. Bagian endingnya juga menyenangkan. Saya banyak tertawa dan saya kira banyak pelajaran yang juga bisa diambil dari film ini.

Selesai bruh


Senin, 27 Mei 2019

Between Books and Reality

I just finished reading Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan and now I am feeling empty.

No, I am not feeling empty because this book is bad, but the other way around, this is a very good book that will give you a story with interesting background and characters and you will understand that Eka Kurniawan did really good research to build the setting. 

This is a surrealism-historical novel that tells the reader a story about Indonesia, or specifically Halimunda in before and after independence, through some complicated yet interesting stories of a family whose problem with their beauty. 

There are some parts where Eka put 18+ stories. Hence this novel basically not safe for children but safe for me hahaha.

Okay, back to the topic why I am feeling empty right now. It is because after I finished reading this book, that means I have to get back to reality where everything seems chaotic. Yeah, that’s it.

Someone said that reading book is an escape from reality.

At first, I didn’t agree with that. My books are mostly Indonesian classic novel that is written based on history. When I read Max Havelaar by Multatuli, I read it because I wanted to know how bad it was when Indonesia being colonialized by the Dutch. 

I knew the novel is not a historical book which describes accurately what happened in the past. But still, the author wrote it based on particular and actual events and try to help us understand what’s going on and build our empathy through not-so-fiction story.

And I was thinking, how come reading book becomes an escape from reality when everything I read was a reality?

But I realized that I was (or might be) wrong.

Back then when I was writing my undergrad thesis, I found myself overwhelmed by reality. There were many things to think of, many things to be done, and many deadlines. Not to mention the pressure that came from outside e.g. expectation from my family to graduate as soon as possible. 

During a hard time, out of the blue, I reached one of my books and start reading. Page by page, I lost myself to the world that has been built by the author. Every word was telling a story that I’ve never known before.

The moment when I was taking a minute to rest my eyes, I finally understood that I just read to escape reality. I was leaving my burden behind to fell into the new world. I run away from one reality to another reality.

So, what is the point of this writing?

It is actually nothing. 

Perhaps, the reason why I write has the same reason why I read books?

I just want to run away from reality for a moment. 

And at this time when you are reading my writing,

it is the time when you are running away from your reality...

...to my reality.


Blog

Blog

Copyright © Dimas Fajri's | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com